Kamis, 30 Juni 2011

Analisis SAJAK DATANG DARA HILANG DARA  Berdasarkan Teori Strata Norma Roman Ingarden


SAJAK DATANG DARA HILANG DARA
Datang Dara, Hilang Dara
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak
Karya : Chairil Anwar
1)      Lapis Suara ( Sound of Stratum)
Puisi diatas berupa satuan-satuan suara, yang meliputi suara suku kata, suara kata, dan suara kalimat. Akhirnya, semua satuan suara itu membentuk (dalam gabungannya) suara puisi secara keseluruhan.
Lapis bunyi dalam sajak adalah semua satuan bunyi didasarkan atas konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan efek puitis dan nilai seni. Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan yang jelas dan sebagainya.
Dalam sejarah puisi, bunyi pernah menjadi unsur kepuitisan yang paling utama pada sastra romantic abad ke-18 dan 19. Bahkan Paul Verlaine, seorang simbolis mengatakan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Slametmuljana menambahkan bahwa tiap kata dalam puisi menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan diluar arti yang sebenarnya.
Dalam bait pertama sajak datang dara hilang dara, terdapat kombinasi vocal (asonansi) bunyi a dan I pada kata sendiri, berani, mencari, dara, mengembara dan senja. Pada bait pertama terdapat aliterasi r yang masing-masing ada pada kata dara, sendiri, berani, mengembara dan mencari.
Dalam bait kedua, terdapat asonansi a dan u pada kata mau, menyapu dan rrambut. Kombinasi bunyi konsonan bersuara (voiced): (b,d,g,j) pada kata biar, menderu, sejenak,  gelombang bunyi sengau (nasal) : (m,n,ng,ny) pada kata mala, menderu, mengembara, menyisir dan menyapu mendukung suasana gembira yang ditunjukkan dara pada bait ke dua.
      Di bait ketiga ada asonasnsi bunyi a da I pada kata terurai, cari, asing, dan pantai. Bunyi liquida 1 dan r juga ditemukan pada kata rambutku, lepas, terurai, dan bunyi sengau pada kata dingin, asing, pulang, rambut dan pantai.
Pada bait ke empat, dominasi bunyi a dan u menimbulkan asonansi bunyi terutama pada baris 1,2 dan 3 yang digunakan sebagai lambing rasa (klanksymboliek) yang menyatakan kegembiraan seorang gadis yang tengah bersenandung. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata dingin, bintang, dengan, dan bernyanyi yang menimbulkan bunyi yang padu (eufoni).
Pada bait kelima, terdapat kombinasi yang tidak merdu ( kakofoni) yang menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan seperti ditunjukkan pada baris kedua dan ketiga.
Pada bait keenam, ditemukan bunyi onomatope yang menirukan bunyi seekor burung elang pada kata “heeyaa!”. Dominasi bunyi sengau pada kata elang, sekarang, hilang, pasang, melenggang, gelombang, pantai dan senja menimbulkan kepaduan bunyi yang merdu (eufoni).
Di bait ketujuh, ditemukan bunyi penanda kakofoni (k,p,t,s) pada kata mengamuk dan membuas yang menjadikan bunyi menjadi tidak padu, tidak merdu, apalagi tidak ditemukan aliterasi maupun asonansi pada bait ketujuh. Bunyi-bunyian tersebut sesuai dengan penggambaran laut yang tengah diterpa badai.
Pada bait kedelapan, ada perpaduan bunyi konsonan (aliterasi) bunyi n pada kata menelan, getaran, jadikan, kedahsyatan, dan ketenangan. Bunyi sengau pada kata gelombang, sendiri, ketenangan, tenang, hilang dan pasang menambah merdu bunyi yang dihasilkan.
Pada bait kesembilan, adanya repetisi pada kata mana menghasilkan bunyi yang padu dalam keseluruhan bait.
Pada bait terakhir, terdapat aliterasi bunyi m pada baris pertama yaitu pada kata malam, kelam, mencat, dan hitam. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata malam, kelam, mencat, hitam, bintang, pantai dan senja.

2)      Lapis Arti ( Unit of Meaning)
Pada mulanya, tidak semua bunyi bahasa mempunyai arti. Karena itu secara bertahap satuan-satuan bunyi bahasa menyatu dengan bunyi bahasa yang lainnya dengan mencapai makna (arti). Satuan bunyi bahasa terkecil adalah fonem. Gabungan dari beberapa fonem melahirka suku kata. Kata bergabung dengan kata lainnya menjadi frase, kemudian frase dengan frase lainnya untuk membentuk kalimat, dan akhirnya membentuk paragraph, dan wacana atau teks. Tentunya satuan-satuan bahasa ini akan melahirkan kesatuan arti.
Lapis arti digunakan untuk memaknai puisi secara lengkap dengan membuat sebuah puisi dengan bahasa yang padat menjadi sebuah prosa yang lebih jelas menceritakan isi puisi. Kegiatan memprosakan puisi lazim disebut pharafrase.
Dalam bait pertama diceritakan seorang gadis yang berani berkeliaran di tepi pantai pada waktu senja. Gadis itu sedang mencari hakikat kebebasan dan jati dirinya sebagai seorang remaja. Kemudian si aku mengajak dara untuk pulang.
Dalam bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan angina malam yag menghamburka pasir, dan memerpa gelombang, juga meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara sampai menemukan apa yang ia cari yakni hakikat sebuah kebebasan yag baru saja ia rasakan di pantai.
Dalam bait ketiga, aku merasakan rambutnya yang lepas terurai dihempas angin. Au bertanya pada dara apa gerangan yang ia cari di laut dingin di pantai yang asing. Sesekali lagi aku membujuk dara agar turut pulang bersamanya.
Dalam bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari aku. Dara ingin bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan hatinya. Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angina yang berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam bait kelima aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis ( dara anak berani) dan menakuti kalau hujan badai akan segera turun dan apabila dara tidak pulang sekarang, ia akan tersesat karena suasana semakin gelap (nanti semua gelap, kau hilang jalan).
Dalam bait keenam, dara bukannya menuruti kata-kata aku justru menari di tepi pantai menirukan seekor elang yang terbang bebas melintasi gelombang pasang ketika senja disaat pantai mulai tidak terlihat ( ketika senja pasang, ketika pantai hilang). Si dara meniruka gerakan elang terbang melenggang ke kiri dan kekanan sambil merentangkan kedua tangannya.
Di bait ketujuh, aku kembali memperingatkan dara bahwa laut dihempas badai (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang yang semakin besar (lihat, gelombang membuas berkejaran). Untuk yang terakhir kalinya si aku menhajak dara pulang.
Di bait kedelapan dara tetap keras kepala dan tidak mengindahkan ajakan si aku. Dara justru berkata bahwa ia sendiri adalah bagian dari getaran gelombang, yang menciptakan kedahsyatan air pasang, juga ketenangan air laut saat surut. Ia begitu asyik bermain hingga dara tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah hilang ditelan gelombang hingga kepalanya berada di bawah buih busa dan lumut laut.
Di bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang ditelan gelombang.
 “Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
      Di bait terakhir, si aku meratapi kematian dara di bawah malam yang kelam oleh mendung hingga bintang-bintang kehilangan cahayanya. Aku mencari dara di pantai, namun hanya kehampaan yang aku temu.

3)   Lapis Objek-Objek (latar, pelaku, dan Dunia Pengarang)
            Lapis ketiga ini adalah lapis kesatuan arti berupa objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku dan dunia pengarang. Dalam sajak Datang Dara Hilang Dara, lapis itu berupa:
a)      Objek-objek yang dikemuakan antara lain : dara, pantai, senja, angina, malam, rambut, pasir, gelombang, laut, kalbu, bintang, bayu, lagu, tubuh dan sinar/cahaya.
b)      Pelaku atau tokoh : si aku dan dara
c)      Latar waktu : saat senja beranjak malam ketika langit sedang mendung dan berangin.
d)     Latar tempat : pantai senja yag mendung, berangin dan tidak ada cahaya.
e)      Dunia pengarang:
Dara seorang gadis yang mengembara mencari hakikat kebebasan di pantai senja. Si aku berusaha membujuk agar dara mau pulang, namun dara menolak. Ia menikmati kebebasan yang ia dapatkan melalui angina yang berhembus diantara pasir dan gelombang laut dan sesekali membelai rambutnya. Dara tidak akan pulang sebelum ia menemukan apa yang ia cari. Si aku bertanya apa gerangan yang sedang dara cari, aku mengajak dara pulang. Dara menolak. Ia ingin bernyanyi dipantai di bawah bintang-bintang dan diantara hembusan angina. Ia ingin bernyanyi sebebas-bebasnya. Si aku tidak menyerah membujuk dara untuk pulang. Si aku juga merayu dara dengan menyebut dara anak yang berani, dan mengatakan langit mendung, nanti bila gelap dara akan tersesat mencari jalan pulang. Namun dara tetap menolak, ia justru semakin menjadi-jadi dengan bermain-main menirukan elang yag sedang terbang diatas gelombang ketika laut pasang dikala senja. Si aku tetap tidak menyerah dan tetap membujuk dara pulang. Dan menakuti laut akan diterjang badai, gelombang pun semakin besar. Dara menolak dan mengandaikan dirinya sendiri adalah gelombang. Hingga diantara kedahsyatan air pasang, tubuhnya hanyut hingga kepalanya tenggelam di bawah lumut. Dara hilang ditelan gelombang. Si aku mencari dengan putus asa baying ramping tubuh dara. Dalam keadaan putus asa, si aku mencari dara, dibawah malam yang gelap tanpa bintang-bintang. Si aku mencari dara di pantai senja yang beranjak malam. Namun dara tidak ada. Dara mati ditelan gelombang.

4)   Lapis Dunia
            Lapis keempat adalah pembentuk makna dalam sajak, lapis ‘dunia ‘ yang tidak perlu dinyatakan, namun sudah “implisit” (tersirat). Hal ini harus diketahui melalui penafsiran teks puisi berikut ini. Dara adalah seorang gadis yang sendiri (dara yang sendiri) yang mencari kebebasan di pantai kala senja. Di bait ketiga, si aku mengajak dara pulang. Namun ajakan aku ditolak oleh dara. Si aku membujuk dengan mengatakan laut akan dihantam badai dan mengajak dara pulang agar nanti tidak tersesat. Di bait keempat, menceritakan penolakan dara yang justru bermain-main menirukan gerakan seekor elang yang tengah terbang. Di bait ketujuh, menyatakan kegelisahan si aku karena bujuknya mengajak dara pulang tidak berhasil sementara laut akan diterjang badai. Di bait kedelapan, menyatakan dara tetap menolak dan teguh pada pendiriannya hingga akhirnya ia hilang ditelan gelombang (atap kepalaku hilang dibawah busah dan lumut). Di bait kesembilan dan kesepuluh, menyatakan kegagalan si aku dalam membujuk dara pulang hingga akhirnya dara mati ditelan gelombang.

5)   Lapis Metafisis
            Lapis metafisis ini adalah lapis kelima yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Pada sajak ini, lapis itu berupa pencarian makna akan kebebasan yang ditunjukkan oleh tokoh dara. Dalam pencariannya akan kebebasan tersebut, seringkali manusia hanya menurutkan ogonya saja, tanpa mempedulikan apakah jalan yang ditempuh baik atau malah merugikan dirinya. Memang ada kalanya manusia menginginkan saat-saat dimana dirinya merasakan kebebasan akan kungkungan dan belenggu norma-norma yang seringkali terlalu ketat mengikat dan membatasi kebebasan. Namun dalam pencarian akan hakikat kebebasan itu, manusia hendaknya tidak melupakan batasan-batasan yang ada, sehingga tidak terjerumus oleh kebebasan yang diluar batas yang justru akan merugikan diri sendiri. Namun manusia seringkali tidak peduli terhadap nasihat-nasihat orang-orang disekitar yang peduli kepadanya dan tetap menuruti hawa nafsunya hingga akhirnya hancur oleh egonya.
     Analisis strata norma roman ingarden menurut Pradopo dalam Gunatama( 2010:230), hanyalah analisis puisi secara formal saja. Analisis model ini hanya berdasar pada fenomena-fenomena . Ingarden dengan pola analisis strata normanya itu, tidak mengungkap nilai-nilai puisi. Dalam hal ini, Wellek (1968:156) mengeritik ingarden bahwa analisis itu menjadi kurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian. Hal ini disebabkan bahwa puisi merupakan karya imajinatif bermedium bahasa, yang unsur seni (estetiknya) dominan (Wellek dan Austin Warren, 1968:25).
            Analisis strata norma Roman Ingarden dimaksudkan untuk menemukan semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Namun, analisis yag hanya memecah-mecah demikian dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra ( Eliot melalui Sansom, 1960:155). Karena itu, analisis strata norma Roman Ingarden harus ditingkatkan ke analisis semiotik. Semiotik melihat karya sastra sebagai system tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena atau unsur karya sastra memiliki makna dan ini arus dicari oleh pembaca atau peneliti.
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar